24 Narkotika Jenis Baru Ditemukan di Indonesia
Jakarta
- Badan Narkotika Nasional (BNN) tengah membahas penemuan ratusan
psikotropika jenis baru yang diharapkan dapat diatur dalam undang-undang
(UU) sehingga tidak dijadikan celah bagi pengguna untuk lolos dari
jeratan hukum.
Sebanyak 24 psikotropika jenis baru telah ditemukan di Indonesia dari total 251 jenis narkotika yang diterima Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dari laporan seluruh dunia.
Ke-24 jenis psikotropika tersebut belum terdapat dalam daftar lampiran di UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika. Karenanya, hal itu seolah menjadi kesempatan bagi mereka untuk mengedarkannya lebih jauh di Indonesia.
"Ini terus bertambah setiap hari, ada 24 jenis (psikotropika baru) hanya untuk di Indonesia. Kalau dilihat dalam daftar lampiran tidak ada, sehingga ini dipakai untuk celah," ujar Konsultan Ahli BNN Ahwil Lutan dalam acara Focus Group Discussion bertema "Substansi Psikoaktif Baru Bagaimana Antisipasi dan Penanggulangannya", di Gedung BeritaSatu Plaza, Jakarta Selatan, Kamis (28/11).
Ahwil juga menyebutkan, dalam daftar International Narcotic Control Board (INCB) sudah terdapat 236 jenis psikotropika baru yang terdaftar secara resmi dari seluruh dunia.
Sementara dari temuan terbaru yang sudah jelas yakni dari United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) terdapat 251 jenis psikotropika baru dari seluruh dunia.
Sementara untuk 24 jenis psikotropika jenis baru di Indonesia, yang terakhir ditemukan adalah jenis katilon yang berasal dari induk katinon.
Jenis tersebut seperti yang telah ditemukan pada kasus narkoba yang menimpa aktor muda Raffi Ahmad.
"Yang terakhir ditemukan dan dipakai dan belum ada jenisnya masuknya daftar katinon induknya. Katilon. Jadi itu sebetulnya reaksi kimia bisa berubah," terang Ahwil.
Mantan Duta Besar Indonesia untuk Meksiko pada tahun 2002-2006 ini mengatakan, 24 jenis baru yang sudah ditemukan di Indonesia ini tidak terlalu banyak.
Masih banyak kemungkinan lain dari jenis psikotropika tersebut karena akan terus berkembang.
Ia menyebutkan, banyak kasus yang ditemukan para pengguna tidak bisa dihukum dikarenakan jenis yang digunakan tersebut tidak ada dalam UU.
Dengan demikian, perlu ada aturan mengenai psikotropika jenis baru ini, baik dituangkan dalam Peraturan Menteri (Permen) dalam hal ini adalah Menteri Kesehatan (Menkes), maupun UU.
"Daftar ini tidak terlalu banyak. Ada celah yang bisa kita lakukan, tugas ini bisa dipegang oleh Menkes. Ketentuan mengenai perubahan penggolongan narkotika dapat diatur Permen, tidak perlu ubah UU," kata Ahwil.
Ahwil menuturkan, pihaknya saat ini tengah mendorong Menkes agar UU tidak memiliki celah dan harus dimanfaatkan untuk penemuan jenis psikotropika baru ini. Seperti yang sudah tercantum dalam daftar UU no 35 tahun 2009.
"Kalau dibiarkan ini berbahaya karena sebuah negara sudah mulai ke sini konsentrasinya. Apalagi Indonesia ini pasar paling empuk," katanya.
Ahwil menjelaskan, Indonesia dijadikan pasar empuk atas berbagai faktor. Diantaranya adalah jumlah penduduk yang mencapai 250 juta, lautan yang terbuka, pintu masuk yang banyak, serta pendapatan masyarakat yang sudah mencapai 3.500 dolar.
"Daya belinya ada. Dulu kita tidak jadi pasar. Mereka mencari pasar mana yang bisa lolos karena melihat juga trend di masyarakat dan gaya hidupnya," terangnya.
Sementara itu, Ketua Komisi III DPR Pieter C. Zulkifli menilai jika BNN dan Polri kurang sejalan dengan semangat pemberantasan narkoba di Indonesia. Ia melihat terjadi kompetisi yang tidak sehat diantara keduanya.
Namun, menurutnya, peredaran narkotika jenis baru juga menimbulkan permasalahan baru dalam upaya pencegahan narkoba.
"Jadi perlu ada upaya komprehensif dan berkesinambungan dalam memeranginya," katanya.
Ia mengatakan, kendala utama pemberantasan narkoba juga mengenai faktor ketersediaan perangkat hukum seperti UU hingga peraturan lainnya.
Sebanyak 24 psikotropika jenis baru telah ditemukan di Indonesia dari total 251 jenis narkotika yang diterima Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dari laporan seluruh dunia.
Ke-24 jenis psikotropika tersebut belum terdapat dalam daftar lampiran di UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika. Karenanya, hal itu seolah menjadi kesempatan bagi mereka untuk mengedarkannya lebih jauh di Indonesia.
"Ini terus bertambah setiap hari, ada 24 jenis (psikotropika baru) hanya untuk di Indonesia. Kalau dilihat dalam daftar lampiran tidak ada, sehingga ini dipakai untuk celah," ujar Konsultan Ahli BNN Ahwil Lutan dalam acara Focus Group Discussion bertema "Substansi Psikoaktif Baru Bagaimana Antisipasi dan Penanggulangannya", di Gedung BeritaSatu Plaza, Jakarta Selatan, Kamis (28/11).
Ahwil juga menyebutkan, dalam daftar International Narcotic Control Board (INCB) sudah terdapat 236 jenis psikotropika baru yang terdaftar secara resmi dari seluruh dunia.
Sementara dari temuan terbaru yang sudah jelas yakni dari United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) terdapat 251 jenis psikotropika baru dari seluruh dunia.
Sementara untuk 24 jenis psikotropika jenis baru di Indonesia, yang terakhir ditemukan adalah jenis katilon yang berasal dari induk katinon.
Jenis tersebut seperti yang telah ditemukan pada kasus narkoba yang menimpa aktor muda Raffi Ahmad.
"Yang terakhir ditemukan dan dipakai dan belum ada jenisnya masuknya daftar katinon induknya. Katilon. Jadi itu sebetulnya reaksi kimia bisa berubah," terang Ahwil.
Mantan Duta Besar Indonesia untuk Meksiko pada tahun 2002-2006 ini mengatakan, 24 jenis baru yang sudah ditemukan di Indonesia ini tidak terlalu banyak.
Masih banyak kemungkinan lain dari jenis psikotropika tersebut karena akan terus berkembang.
Ia menyebutkan, banyak kasus yang ditemukan para pengguna tidak bisa dihukum dikarenakan jenis yang digunakan tersebut tidak ada dalam UU.
Dengan demikian, perlu ada aturan mengenai psikotropika jenis baru ini, baik dituangkan dalam Peraturan Menteri (Permen) dalam hal ini adalah Menteri Kesehatan (Menkes), maupun UU.
"Daftar ini tidak terlalu banyak. Ada celah yang bisa kita lakukan, tugas ini bisa dipegang oleh Menkes. Ketentuan mengenai perubahan penggolongan narkotika dapat diatur Permen, tidak perlu ubah UU," kata Ahwil.
Ahwil menuturkan, pihaknya saat ini tengah mendorong Menkes agar UU tidak memiliki celah dan harus dimanfaatkan untuk penemuan jenis psikotropika baru ini. Seperti yang sudah tercantum dalam daftar UU no 35 tahun 2009.
"Kalau dibiarkan ini berbahaya karena sebuah negara sudah mulai ke sini konsentrasinya. Apalagi Indonesia ini pasar paling empuk," katanya.
Ahwil menjelaskan, Indonesia dijadikan pasar empuk atas berbagai faktor. Diantaranya adalah jumlah penduduk yang mencapai 250 juta, lautan yang terbuka, pintu masuk yang banyak, serta pendapatan masyarakat yang sudah mencapai 3.500 dolar.
"Daya belinya ada. Dulu kita tidak jadi pasar. Mereka mencari pasar mana yang bisa lolos karena melihat juga trend di masyarakat dan gaya hidupnya," terangnya.
Sementara itu, Ketua Komisi III DPR Pieter C. Zulkifli menilai jika BNN dan Polri kurang sejalan dengan semangat pemberantasan narkoba di Indonesia. Ia melihat terjadi kompetisi yang tidak sehat diantara keduanya.
Namun, menurutnya, peredaran narkotika jenis baru juga menimbulkan permasalahan baru dalam upaya pencegahan narkoba.
"Jadi perlu ada upaya komprehensif dan berkesinambungan dalam memeranginya," katanya.
Ia mengatakan, kendala utama pemberantasan narkoba juga mengenai faktor ketersediaan perangkat hukum seperti UU hingga peraturan lainnya.
banyak sekali yang ditemukan di indonesia yah
BalasHapusElever Media Indonesia